Ketika itu Sri Lanka diperintah oleh Raja Vattagamani. Baru saja memerintah lima bulan, Brahmana Tissa yang tinggal di Rohana memberontak. Bersamaan dengan itu, datang tujuh orang Tamil dari India dengan balatentara mereka. Tissa sangat kuat, sehingga Vattagamani tidak berani menghadapinya di medan perang.
Menurut Sammohavinodani :
Brahmana Tissa menyerbu. Para bhikkhu bersidang dan mengirim delapan thera kepada Dewa Sakka untuk meminta bantuan mengatasi pemberontakan itu. Sakka, raja para dewa, menjawab : 'Para Ariya, pemberontakan tidak mungkin ini bisa diatasi. Sebaiknya para bhante pergi ke negeri lain. Saya akan melindungi selama perjalanan di laut'.
Selain kesengsaraan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu, bencana alam pun menimpa negeri. Selama dua belas tahun, timbul bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah (Samyuttanikaya Atthakatha II-iii).
Vihara di Anuradhapura ditinggalkan dan para bhikkhu mengungsi ke India ataupun bersembunyi ke pegunungan.
PENDERITAAN SELAMA BENCANA
Menurut
Sammohavinodani, para bhikkhu dari segenap penjuru akhirnya berkumpul di
Jambukola-pattana di Pulau Nagadipa (pulau kecil di Barat-Laut
Sri Lanka ), untuk berusaha
menyeberang ke India .
Tiga orang Thera Samyuttabhanaka (yang mahir dalam Samyuttanikaya)
masing-masing bernama Culasiva, Isidatta dan Mahasena memimpin pertemuan
itu. Dengan menyadari kemampuan Mahasena untuk melindungi Buddhasasana di masa yang
akan datang, kedua thera yang lain menyarankan agar beliau pergi ke negeri
seberang dan baru kembali setelah bencana usai. Karena Culasiva dan Isidatta
tidak mau ikut menyeberang, Mahasena menolak saran itu dan memutuskan untuk
tetap tinggal di Sri Lanka
juga. Akhirnya Culasiva meminta kepada Isidatta agar melindungi Mahasena sebaik
mungkin. Culasiva Thera pulang kembali ke Mahacetiya. Ternyata Mahavihara sudah
kosong, pohon-pohon liar sudah menutupi halaman, bahkan Mahacetiya sendiri
tertutup semak belukar. Karena itu Culasiva pergi ke sebuah tempat di tepian
Sungai Jaggara. Orang-orang di sana
bertahan hidup dengan memakan daun-daunan. Beliau pun tinggal di sana sampai keadaan
menjadi lebih baik. (Sammohavinodani 446, 447).
Isidatta dan Mahasena juga sangat menderita. Setelah mengembara terlunta-lunta,
mereka tiba di Alajanapada. Penduduk di sini membelah biji buah 'madhu' dan
memakan isinya. Kedua thera itu mengambil bagian luarnya yang tersisa, dan
memakannya. Selama satu minggu hanya itulah makanan yang tersedia. Dalam kesempatan
selanjutnya mereka bertahan hidup dengan memakan batang bunga bakung dan juga
bonggol pohon pisang. (Sammohavinodani 447, 448).
Kisah bhikkhu yang lain, bernama Vattabaka Nigrodha lebih mengenaskan. Bersama gurunya yang sudah uzur, beliau berkelana dari tempat ke tempat dengan
secuil makanan. Bencana kelaparan pada saat itu sudah sangat gawat sehingga
orang bahkan ada yang memakan daging manusia. Thera yang sudah sangat lanjut
usia itupun menjadi salah satu korban mereka. Untunglah Nigrodha berhasil
lolos. (Sammohavinodani 449, 450).
Tidak terhitung banyaknya orang yang mati, baik para bhikkhu maupun umat awam.
Di Vihara Tissamaharama dan Cittalapabatavihara sebenarnya dahulu tersimpan
beras yang cukup untuk tiga tahun, namun semuanya habis diserbu tikus. Dua
belas ribu Arahat dari masing-masing vihara pun berangkat dengan maksud
mengungsi ke vihara yang lain. Di tengah jalan mereka bertemu dan setelah
mendengar kisah masing-masing, mereka akhirnya masuk ke hutan dan memilih untuk
meninggal di sana ,
karena mengetahui sudah tidak ada gunanya lagi untuk kembali ke vihara.
(Sammohavinodani).
Seorang theri bernama Naga, ditinggalkan bersama para bhikkhuni lainnya di
vihara mereka di Desa Bharatagama. Para
penduduknya habis lari mencari tempat yang lebih baik. Mereka mungkin tidak
sempat memberitahukan kepergiannya kepada para bhikkhuni tersebut, atau tidak
sampai hati menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk menanggung kehidupan para
bhikkhuni tersebut pada masa bencana menimpa. (Manorathapurani). Para thera lain yang disebut-sebut hidup pada
masa itu adalah Tissabhuti, Sumanadeva, Phussadeva dan Upatissa.
Tissabhuti tinggal di Vihara Mandalarama di Desa Kalakagama. Di dalam
Manorathapurani diriwayatkan bahwa bhikkhu ini pernah melihat seorang wanita
dan kemudian pikiran kotor merasuki batinnya. Ia pun bergegas pulang ke
<ivihara, menghadap gurunya Malayavasi Mahasangharakkhita Thera dan mendapat
petunjuk untuk meditasi. Ia pun bertekad untuk menghapus pikiran kotornya,
bahkan bila gagal ia nekad akan mengakhiri hidupnya. Ia pun pamit kepada
gurunya sambil berulang-ulang memberi hormat. Gurunya bertanya heran, dan
Tissabhuti menjawab : 'Syukurlah kalau saya berhasil. Namun kalau gagal, inilah
penghormatan saya yang terakhir kepada guru.'
Tissabhuti pergi menyendiri dan menjalankan meditasi sesuai petunjuk gurunya.
Akhirnya iia berhasil dan menjadi Arahat.
Cerita lain tentang Tissabhuti terdapat dalam Atthasalini.
Pada suatu hari ia menjelaskan bahwa tempat Penerangan Sempurna di bawah Pohon
Bodhi di Buddha Gaya adalah 'nidana' (tempat asal) diajarkannya Abhidhamma
Pitaka. Thera Sumanadeva dari Gama ketika itu sedang mengajarkan dhamma di
bagian bawah Istana Kuningan. Thera Sumanadeva mendengar hal ini dan menyebut
Tissabhuti sebagai seorang 'paravadi' (yang keliru), yang tidak mengetahui
'nidana' dari Abhidhamma. Beliaupun kemudian menjelaskan keterangan yang benar
tentang riwayat Buddha mengajarkan Abhidhamma di kaki sebatang Pohon
Paricchattaka di Tavatimsa, surga para dewa. (Atthasalini 30, 31).
Kedua thera yang lain, Phussadeva dan Upatissa berguru kepada orang yang sama.
Selama masa bencana kelapan keduanya teguh berupaya melindungi Vinaya Pitaka.
(Samantapasadika I-263).
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang
tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih
kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang
tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang
tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat
apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi"
(Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu
memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha. Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua
Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda,
siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali
kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya
(peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh
ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang
mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali)
disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang
terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi
dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang
berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali,
di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat.
Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu
yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang
menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha
terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna ) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha
wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini
memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma
ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran
gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka
sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar
menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke
negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan
Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan
inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar
lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja
Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83
SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama
kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian
Dhamma Vinaya.
Selanjutnya, Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay
(Burma )
pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja
Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali)
diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di
bukit Mandalay .
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon
pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500
(tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali)
dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah
Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak
dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama
Buddha mazhab Mahayana berkembang di India
dan kemudian meyebar ke negeri Tibet
dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis
dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak
terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak
pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan
dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali)
sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda
di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di
negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah
menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka,
Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah
lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran
para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab
Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka ,
Burma , Thailand , dan kemudian berkembang di Indonesia dan
negara-negara lain.
TRIPITAKA, terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
1. Vinaya Pitaka, yaitu aturan-aturan yang berlaku bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Kitab ini terbagi lagi ke dalam tiga bagian :
1) Sutta Vibanga
2) Khandaka
3) Parivara
2. Sutta Pitaka, yaitu kumpulan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Sang Budha Gotama . Pitaka ini berisi mengenai etika, moral, disiplin, tanggung jawab, kewajiban dan kualitas manusia. Kitab ini terbagi menjadi lima Nikaya atau kumpulan, yaitu:
1) Digha Nikaya
2) Majjhima Nikaya
3) Samyutta Nikaya
4) Anguttara Nikaya
5) Khuddaka Nikaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar