A. Sejarah dan Perkembangan Agama Buddha di Korea Pra-Sejarah
Agama Buddha pertama kali diperkenalkan di Korea pada tahun 372 M pada periode pemerintahan Kerajaan Geguryeo oleh seorang biarawan yang bernama Sundo yang berasal dari Dinasti Qian Qin di China. Kemudian, pada tahun 384 M, biarawan Malanda membawa agama Buddha ke Baekje dari Negara bagian Timur Jin di China. Dan pada masa Kerajaan Sila, agama Buddha disebarluaskan oleh Bikhu Ado dari Geguryeo pada pertengahan abad ke-5.
Adapun tiga wilayah kerajaan persebaran agama Buddha di Korea, yaitu meliputi:
- Koguruyu, tahun 375 SM-668 M
- Baekje, tahun 18 SM-660 M
- Silla, tahun 57 M-935 M
Jika dilihat dari tahun berkembangnya agama Buddha di Korea, dapat disimpulkan bahwa pertama sekali yang menerima agama Buddha adalah wilayah Kerajaan Koguruyu dan terakhir adalah wilayah Kerajaan Silla. Adapun asal-mula pembagian kerajaan ini, ialah adanya persaingan ekonomi dan militer diantara tiga kerajaan ini dan memperebutkan Semenanjung Korea.
Masa keemasan agama Buddha di Korea terjadi ketika masa pemerintahan Dinasti Wang, yaitu kira-kira pada abad ke-11. Banyak kuil dan biara yang dibangun, serta jumlah pemeluk agama Buddha yang meningkat secara tetap. Ketika kekuasaan Dinasti Wang, Semenanjung Korea diambil-alih oleh Dinasti Yuan dari Kerajaan Mongol, sehingga agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamanisme yang berasal dari Tibet. Setelah Dinasti Yuan dikalahkan oleh Dinasti Rhee dari Chosen Korea, dinasti ini menerima ajaran Konghucu dan membenamkan ajaran Buddha. Namun, ketika Dinasti Silla pada tahun 668 M berhasil menyatukan Semenanjung Korea, agama Buddha dijadikan sebagai agama Negara, walaupun sistem pemerintahannya masih berdasarkan prinsip-prinsip Konfusianisme.
B. Agama Buddha di Korea Zaman Modern
Agama Buddha di Korea pada zaman modern, menganut sekte Buddha Seon (Zen) dengan mempercayai Buddha Amitaba. Selain itu, Zen tetaplah menjadi suatu ajaran Buddha yang menekankan kepada pencerahan terhadap diri manusia, ketenangan dan ketidakabadian. Ajaran-ajaran pokok inilah yang dapat membantu siapapun yang mempelajarinya untuk dapat mengendalikan emosi dan berbuat baik, sehingga tercapai suatu keselarasan hidup dan pencerahan. Mungkin ajaran-ajaran seperti inilah yang tetap dijaga eksistensinya untuk menyokong agama-agama mayoritas yang telah ada di dunia.
C. Sejarah dan Perkembangan Agama Buddha di Jepang
Sebelum agama Buddha masuk ke Jepang, pada saat itu keadaan agama Jepang masih berupa kumpulan-kumpulan kepercayaan tanpa nama dari berbagai pemujaan alam, arwah nenek moyang dan shamanisme. Seorang kaisar Jepang yang pertama dan suku Yamato yang pertama, yaitu Jimu Teno sepakat untuk memeluk agama Shinto.
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan pada tahun 853 atau 552 M. ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan mereka, terutama para dewa mereka.
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada 593 M yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menjadikan agama Buddha sebagai agama Negara, dan ia juga menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti, dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Pada tahun 607 M, ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri sampai sekarang.
Pada periode ini, tercatat enam sekte yang muncul di Jepang, yaitu:
1) Kusha
2) Sanron
3) Jojitsu
4) Kegon
5) Hosso
6) Ratsu
Kemudian, pada periode pemerintahan Nara yaitu pada tahun 710-884 M, agama Buddha mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena banyak suku dan bangsawan berpengaruh dan memeluk agama Buddha. Pada periode ini muncullah enam sekte. Seperti yang telah disebutkan di atas, namun yang masih bertahan hanyalah sekte Hosso yang berpusat di kelenteng Kofukuji dan Yakushiji, serta sekte Kegon yang berpusat di kelenteng Todaiji dan sekte Ritsu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.
Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).
· Sekte Zen, merupakan sekte hasil jalur Sutra dengan ajaran Bodhidharma. Sekte Zen akhirnya terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu ;
1) Soto Zen dengan tokohnya Dogen. Sekte ini banyak dianut oleh kalangan prajurit dan petani.
2) Rinzai dengan tokohnya Eisai. Sekte ini berkembang di kalangan militer dan aristrokrat serta menjadi tulang punggung kelas penguasa dan militer.
· Sekte Amida, atau sering disebut dengan nama ‘Tanah Suci’, mengemukakan ajaran keselamatan dengan cara mempercayai Buddha secara mutlak dan menyebut Amida, seseorang yang akan mendapat keselamatan. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha serta dilengkapi dengan patung Bodhisatwa Kwan On dan patung Deiseishi.
· Sekte Nichiren Sozu, Pada abad ke-13, agama Buddha di Jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhikṣu Nichiren (1222-1282). Pemimpin yang memiliki kharisma ini mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci NamaMyohorengekyo (terpujilah Sadharmapundarika Sūtra) dan beliau tidak ragu-ragu untuk mengkritik orang lain. Sekte ini memiliki ideologi yang ingin mengembalikan agama Buddha kepadanya bentuknya yang murni dan akan dijadikan sebagai perbaikan oleh masyarakat di Jepang. Sekte ini menolak ritualisme dan sentimentalisme Sekte Amida, melawan semua kesalahan, agresif dan bersifat eksklusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar