Senin, 11 Juni 2012

BUDHISME ZEN


A.    Sejarah Buddhisme Zen

Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transimi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.
 Dikisahkan secara legendaris bahwa ketika di dalam pertemuan dharma, Sang Buddha berkumpul dengan para siswanya, datanglah seorang Brahmin yang memberikan sekuntum bunga Kumbhala kepada Sang Buddha seraya berharap agar Sang Buddha menerangkan Dharma. Pada saat itu Sang Buddha tidak berkata satu katapun, hanya tersenyum. Tak seorangpun yang mengerti, hanya Maha Kasyapa yang tersenyum dan mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha. Berkatalah Sang Buddha kepada Maha Kasyapa: ‘Engkaulah, Maha Kasyapa! Yang mengerti pelajaran tersebut dan aku wariskan pelajaran tersebut kepadamu’.
            Berikut ini silsilah para Acharya/Patriach/Guru Cha’n Buddhisme di India secara tradisional sebelum kedatangan Bodhidharma ke Tiongkok pada 520 M :
1.  Sakyamuni Buddha
15. Kanadeva
2.  Maha Kasyapa
16. Arya Rahulata
3.  Ananda
17. Samghanandi
4.  Sanavasa
18. Samghayasas
5.  Upagupta
19. Kumarata
6.  Dhritaka
20. Jayata
7.  Micchaka
21. Vasubhandu
8.  Buddhanandi
22. Manura
9.  Buddhamitra
23. Hakkenayasas
10. Bhiksu Parsva
24. Bhiksu Simha
11. Punyayasas
25.Vasasita
12. Asvagosha
26. Punyamitra
13. Bhiksu Kapimala
27. Prajnatara
14. Nagarjuna
28. Bodhidharma
Bodhidharma datang ke Tiongkok pada masa dinasti Liang (502-557M), beliau mula-mula sampai di Nanking. Sebenarnya apa yang diajarkan oleh Bodhidharma tidak menitikberatkan teori-teori, yang penting adalah pengertian dan intuisi dari seorang siswa yang timbul dari dalam batinnya sendiri di dalam usaha penghayatan terhadap Buddha Dharma di samping adanya ketekunan di dalam meditasi.
Bodhidharma menurunkan ajarannya Dhyana kepada muridnya, Hui Khe yang menjadi sesepuh kedua aliran Cha’n di Cina. Demikian seterusnya, hingga dikenal enam sesepuh yaitu:
1)      Bodhidharma
2)      Hui Khe
3)      Shen Chie
4)      Tao Sin
5)      Hung Jen
6)      Hui Neng

Setelah Hui Neng sistem pewarisan sesepuh atau Patriach ditiadakan. Namun demikian, terdapat juga beberapa Zen master yang cukup terkenal diantaranya : Master Han san, Fa Jung, Upasaka Ph’ang dan Master Ma Tsu serta lain-lainnya. Dari Cina, ajaran Cha’n menyebar ke Jepang dan dikenal dengan istilah Zen. Istilah Zen dari jepang inilah yang kemudian lebih populer untuk menamai aliran Dhyana atau Cha’n.

B.     Sutra-Sutra yang di jadikan pedoman oleh Cha’n/Zen
Walaupun kita sering mendengar bhawa kaum Cha’n/Zen tidak terikat kepada Sutra-Sutra, ada juga Sutra-Sutra yang di jadikan ‘teori’ oleh mereka. Ini juga berarti mereka tidak terlalu terikat kepada apa yang tertulis dalam Sutra-Sutra. Sutra tersebut adalah:
-          Suranggama Sutra (Leng Yen Cing) terjemahan Siksananda
-          Lankavatara Sutra (Leng Kha Cing) terjemahan Gunabadra
-          Vajrachedika Prajnaparamita Sutra (Cin Kang Cing/Sutra Intan) terjemahan Kumarajiva
-          The Platform Sutra of Sixth Patriach (Liu Chu Th’an Cing/Sutra Altar dari Hui Neng)
-          Vimalakirti Nirdesa Sutra (Wei Mo Cing) terjemahan Kumarajiva

C.    Dasar Filsafat Zen

Dasar dari Cha’n atau Zen sering diungkapkan sebagai berikut :
Diberikan di luar pelajaran
Tanpa mengunakan kata-kata tulisan
Langsung diarahkan kepada hati manusia
Mengenal sifat asli itu sendiri dan menjadi Buddha
Di dalam Cha’n/Zen, upacara-upacara yang berbelit-belit kurang di perhatikan, pembakaran dupa wangi dan lilin pun hanya sekali-sekali. Mereka juga mengulang Sutra, namun hal itu bukan merupakan suatu ikatan. Bagi mereka meditasi adalah bagian dari kehidupan mereka, namun meditasi tidak bias menjamin seseorang menjadi Buddha. Segala sesuatu harus diresapi dan di realisasikan agar dapat menghayati setiap momen kehidupan. Mereka begitu menyintai ketenangan, keheningan serta keindahan alam karena hal-hal demikian banyak membantu dalam usaha untuk mencari diri pribadi dan mengenal diri sendiri. Tentu saja moral kesusilaan sangatlah mereka junjung.

Ada dua buah syair yang terkenal yang masing-masing di buat oleh Shen Siu dan Hui Neng yang dapat mengambarkan garis esar filsafat Cha’n/Zen.

Syair dari Shen Siu sebagai berikut:
Tubuh adalah pohon Bodhi
Hati laksana cermin yang berbingkai
Setiap saat rajin membersihkannya
Jangan sampai di kotori oleh debu
Syair lain yang di buat oleh Hui Neng sebagai berikut:
Bodhi sesungguhnya tak berpohon
Cermin terangpun tidaklah berbingkai
Pada mulanya memang tidak ada sesuatu apapun
Yang dapat di kotori oleh debu
D.    Perkembangan Zen Selanjutnya

Ada beberapa aliran atau sekte yang berkembang menurut metode yang berbeda. Diantaranya sebagai berikut :
1)      Sub-sekte Lin Chi (Rinzai), diperkenalkan oleh Master Lin Chi kira-kira pada tahun 850 M.
2)      Sub-sekte Chau Tung (Soto), diperkenalkan oleh Master Tung San Liang Cie (807-869 M) dan Chau San (840-901 M).
3)      Sub-sekte Huang Po (Obaku), dikembangkan oleh Master Huang Po kira-kira tahun 850 M.

NICHIREN SOSHU


A.    Sejarah Nichiren Soshu

Nichiren Soshu adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang pada abad ke-13. Dipelopori oleh bikhu Nichiren Daishonin (1222-1282). Sekte ini berpusat di Taisekiji, Fujinomina, propinsi Shizouka, Jepang. Sekte ini merupakan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, yang merupakan pendiri sekte ini.
Agama Buddha menebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea kemudian masuk ke Jepang. Agama Buddha sangat terbuka mengungkapkan dasar pendirian sektenya. Bila dilihat dari dasar Buddhaloginya, Nichiren Soshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya Mahaguru Tien Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru Dengyo.
Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa, disebut dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo, dalam bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika adalah ajaran Buddha mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, lalu disebarluaskan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte berbagai kuil, maka beliau menyimpulkan bahwa hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan ajaran pokok dari Buddha Sakyamuni yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sehingga, sejak saat itu ia menyebut dirinya dengan sebutan “Nichiren”.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan ajaran Buddha kepada bentuk yang murni yang menjadi dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan melawan ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, patriotis, namun eksklusif. Ia mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci.
Dari hasil studi dalam mempelajari agama-agama Buddha, ia menyadari bahwa agama Buddha sudah terpecah-pecah dengan bermunculan beraneka ragam sekte. Ia beranggapan bahwa semua sekte itu telah menyimpang dari ajaran Sakyamuni yang asli, sehingga tujuan utama sekte ini adalah mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan masyarakat.

B.     Ajaran-ajaran Nichiren Soshu

1.      Nam-myoho-renge-kyo

Nam-myoho-renge-kyo yang berarti “aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddha yang paling luhur”. Menurutnya, hanya dengan menyatu dengan alam semesta, akan mencapai kebahagiaan yang mutlak.

2.      Dohonzon

Dohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat pemujaan yang telah diajarkan Nichiren Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap orang yang percaya kepada Nichiren dan ajaran-ajarannya yang benar. Siapapun yang bertawakal kepada Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan menyatu dengan alam semesta.

3.      Teori Kaidan
Kaidan adalah suatu tempat bagi para calon Bhikkhu untuk bernadar dan menyatakan diri akan mengabdi sebagai bhikkhu atau bhikkhuni.
C.     Nichiren Soshu di Indonesia

Agama Buddha Nichiren Soshu mulai tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, walaupun hanya dianut oleh beberapa orang saja. Pada tahun 1950an dan 1960-an penganutnya mulai bertambah, dan dibentuklah banyak pertemuan untuk diskusi guna mempelajari agama Nichiren Soshu. Pada tanggal 28 Oktober 1969, yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, maka dibentuklah Yayasan Buddhis Nichiren Soshu Indonesia.

1)      Nichiren Soshu di Indonesia bukanlah agama Jepang, akan tetapi agama Buddha dari mazhab Mahayana berdasarkan Tripitaka dan bersifat nasionalis.
2)      Nichiren Soshu di Indonesia menegaskan bahwa Nichiren Soshu bukanlah suatu agama yang bersifat eksklusif untuk golongan tertentu saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat berdasarkan prinsip “Icien Bodai Soyo” dan bersifat universal.
3)      Nichiren Soshu di Indonesia memiliki prinsip “Esyo Funi” yang berarti manusia dan lingkungan tidak dapat terpisahkan. Buktinya adalah penggunaan bahasa Indonesia saat pertemuan-pertemuan.

D.    Perpecahan Nichiren Soshu di Indonesia

Sejak akhir tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Tahun 1986, muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI yang memang belum ada. Draf AD ART kemudian disusun dan dibuat oleh Sembilan orang atas permintaan Senosoenoto, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kelompok 9.
Inisiatif Kelompok Sembilan ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan. AD ART NSI pun tak kunjung terwujud. Lalu, mereka membuat Yayasan Visistakaritra pada tanggal 16 Februari 1987. NSI sepeninggal Senosoenoto terpecah menjadi dua, karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung Johan Nataprawira dan kubu pendukung Keiko Senosoenoto. Dalam suatu muktamar, terpilihlah Suhadi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira, dan saat ini masih menjadi ketua umum NSI. Namun, keberadaannya ditentang oleh Sangha Nichiren Soshu. Akibatnya, kini Suhadi Sendjaja dikeluarkan dari Nichiren Soshu dan organisasi NSI tidak diakui sebagai ormas penganut Nichiren Soshu di Indonesia.
Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), dan mengangkat anak perempuannya, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini. Sekitar tahun 2000-an, bersama Sangha Nichiren Soshu Indonesia yang diketuai oleh menantunya, Rusdy Rukmarata.
Yayasan sangha ini memiliki dua buah kuil, yaitu Myogan-ji terletak di Mega Mendung, dan Hosei-ji terletak di Jakarta. Pada tahun 199, terjadi pertikaian antara Sangha Nichiren Soshu di Jepang dengan Sokagakki Internasional, dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte sendiri dan diberi nama Nichiren Sekai Shu.


Rabu, 23 Mei 2012

SIMBOL-SIMBOL BUDDHA

Dharmachakra
Merupakan lambang dari ajaran Delapan Jalan Kemuliaan
(Ariya Atthangika Magga).
Makna lambang :
1. Bentuk keseluruhannya merupakan lingkaran yang
melambangkan  kesempurnaaan Dharma.
2. Tiga buah lingkaran di pusat roda melambangkan
Tiga Mustika, yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha
3. Pusat roda melambangkan disiplin yang merupakan
dasar dari meditasi
4. Delapan jari-jarinya, menyimbolkan Jalan Mulia
Berunsur Delapan yang diajarkan Sang Buddha.
5. Pinggiran roda melambangkan praktik meditasi
yang menyatukan segala unsur-unsurnya.




Swastika

Swastika berasaldari kata svastika (Sansekerta) yang berarti objek keberuntungan atau kesejahteraan. Simbol ini merupakan salah satu simbol tertua yang telah dipaka ioleh banyak peradaban dan kebudayaan di dunia. Motif ini kemungkinan dipakai pertama sekali pada zaman Neolitik Eropa dan Asia. Bukti-bukti arkeologi menyatakan bahwa lambang ini banyak dipakai oleh peradaban besar dunia seperti Yunani, Romawi, Eropa Barat,Skandinavia, Asia, Afrika dan penduduk asli Amerika. Penggunaan lambang swastika dalam Buddhisme dipelopori di Jepang dan sebagian besar Negara Asia Timur lainnya. Swastika sendiri mengandung makna Dharma, keharmonisan universal dan keseimbangan. Swastika umumnya digunakan di ukiran wihara dan kuil, dada patung Sang Buddha, maupun kadang-kadangdi gambar telapak kaki SangBuddha




Candi Borobudur di Jawa Tengah







HUKUM KESUNYATAAN DAN HUKUM KAMMA


Kesunyataan/Empat kebenaran mulia secara singkatnya.
1.      Kesunyataan tentang Dukkha (Dukkha Ariya-Sacca)
a.    Kelahiran, usia lanjut dan kematian adalah Dukkha.
b.   Timbulnya kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah Dukkha.
c.    Keinginan yang tak tercapai adalah Dukkha.
d.   Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai dan berkumpul/dekat dengan yang dibenci adalah Dukkha.
e.    Masih banyak lagi lain-lainnya yang menimbulkan Dukkha.

2.      Kesunyataan tentang Asal-Mula Dukkha (Dukkha Samudaya AriyaSacca)
Dukkha disebabkan adanya nafsu keinginan, kehausan, kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indriya dan pikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses tumimbal-lahir.

3.      Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkhanirodha AriyaSacca)
a.    Dukkha hanya dapat lenyap dengan padamnya nafsu keinginan dan padamnya arus kekotoran bathin, yang berarti terhentinya proses tumimbal-lahir dan tercapainya Nibbana.
b.   Apa yang diterangkan di poin a diatas bukanlah hanya teori belaka, namun itu mengandung satu pengertian bahwa gerak kehidupan yang dilakukan setiap saat memiliki batas-batas kemampuan berdasarkan daya tangkap perasaan, pikiran dan perbuatan kita. Selama perasaan, pikiran dan perbuatan kita tidak dibiarkan bekerja terus sampai melampaui batas-batas kemampuan, maka selama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau Dukkha.

4.      Kesunyataan tentang Jalan Berakhirnya Dukkha (Dukkhanirodhagaminipatipada AriyaSacca)
Untuk dapat mencapai tujuan melenyapkan Dukkha ditunjukkan Delapan Ruas Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga), yaitu :
a.    Harus memiliki pandangan yang benar.
b.   Harus memiliki pikiran yang benar.
c.    Harus memiliki ucapan yang benar.
d.   Harus memiliki perbuatan yang benar.
e.    Harus memiliki mata pencaharian yang benar.
f.    Harus memiliki daya-upaya yang benar.
g.   Harus memiliki perhatian yang benar.
h.   Harus memiliki konsentrasi yang benar.[1]
Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang adanya penderitaan ialah dilahirkan, usia tua, sakit, mati, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, tidak memperoleh sesuatu yang didambakan. Secara singkat dikatakan bahwa lima kelompok kehidupan (panca skandhah) adalah Dukkha. Duhkha diatas terbagi atas tiga kelompok:
Ø  Penderitaan karena cengkeraman bentuk-bentuk lain
Ø  Penderitaan karena cengkeraman ketidakkekalan
Ø  Penderitaan karena cengkeraman kesakitan

Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang asalnya penderitaan ialah tanha atau nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya. Tanha terdiri dari:
v  Karma tanha: keinginan untuk menikmati nafsu indra
v  Bhava tanha: keinginan untuk dilahirkan
v  Vibhava tanha: keinginan untuk memusnahkan diri
Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang lenyapnya penderitaan ialah dimana tanha telah dapat disingkirkan secara menyeluruh. Singkatnya telah mencapai Nirvana.[2]
Jalan Ariya Beruas Delapan, jalan menuju akhir penderitaan, merupakan terapi terpadu yang dirancang untuk menyembuhkan penyakit Samsara melalui pengembangan ucapan dan perbuatan moral, pengembangan pikiran, dan transformasi sempurna tingkat pemahaman dan kualitas pikiran seseorang. Hal ini menunjukkan jalan untuk memperoleh kematangan spiritual dan terbebas sepenuhnya dari penderitaan.

Jalan Ariya Beruas Delapan terdiri dari delapan faktor berikut :

Sila
Ucapan Benar
Perbuatan Benar
Penghidupan Benar
Moralitas
Samadhi
Usaha Benar
Perhatian Benar
Konsentrasi Benar
Latihan Mental
Panna
Pandangan Benar
Pikiran Benar
Kebijaksanaan


A.    Hukum Karma
           Kamma adalah kata bahasa Pali dan Karma adalah kata Sanskerta yang secara singkat berarti perbuatan, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab dan kemudian setelah itu dilakukan akan menimbulkan akibat.
Pelajaran yang diperoleh dari Kamma
Bilamana kita hidup dalam penerangan hukum kamma, maka akan dapat memetik pelajaran yang indah dan bermanfaat, antara lain:
a.       Kesabaran, hukum kamma adalah pelindungm kita, bila hidup kita selaras dengan hukum tersebut, maka tidak ada suatu yang dapat menimpa, merugikan atau mencelakakan kita. Kesabaran membawa ketenangan, ketentraman, kebahagiaan diri kita.
b.      Keyakinan, ragu-ragu dan gelisah adalah tanda, bahwa terdapat kurang pengertian dan keyakinan akan kebenaran hukum kamma. Hukum kamma membuat orang berdiri diatas kakinya sendiri dan meneguhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri.
c.       Pengendalian diri, perbuatan jahat akan kembali menimpa kita sebagai mala petaka, kayakinan kita dengan kamma akan membuat kita mampu untuk mengendalikan diri, terutama keinginan untuk kejahatan. Memperoleh Kemampuan, untuk tidak hanya menentukan nasib sendiri di kemudian hari, tetapi juga untuk menolong makhluk lainnya dengan lebih bermanfaat. Melaksanakan kamma aik, sekali berkembang akan menghilangkan rintangan  dan kejahatan untuk kemudian menghancurkan belenggu yang menghalangi kita kea rah Kesunyataan atau Kenyataan mutlak, yaitu Nibbana.
Percaya pada diri sendiri, jika di dalam waktu yang lampau kita telah membuat diri yang kurang ini, maka apa yang kita perbuat sekarang menentukan nasib kita yang akan datang.



[1] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan dalam Dhamma, hal. 62-66
[2] D. S. Marga Singgih, Tridharma Suatu Pengantar, hal.8-9

TILAKHANA, PATTICA SAMMUPADA, TUMIMBAL LAHIR, DAN NIBBANA

A.    Tilakhana
Tilakhana artinya tiga corak yang universal dan ini termasuk hukum kesunyataan; berarti bahwa hukum ini berlaku dimana-mana dan pada setiap waktu. Jadi hukum ini tidak terikat oleh waktu dan tempat.
a.       Sabbe Sankhara Anicca
Segala sesuatau dalam alam semesta ini, yang terdiri dari paduan unsure-unsur adalah tidak kekal dan sebagai umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini tidak lain sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu :
Uppada                       thiti                                          bhanga
(timbul)                       (berlangsung)                          (berakhir/lenyap)        

b.      Sabbe Sankhara Dukkha
Apa yang tidak kekal itu adalah tidak memuaskan dan oleh karenanya timbul penderitaan.

c.       Sabbe Sankhara Anatta
Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat adalah tanpa inti yang kekal. Karena tanpa pemilik dan juga tidak dapat dikuasai.

Penjelasan tiga corak umum tersebut, yaitu:
1.      Anicca
Kata Anicca berarti tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terus-menerus mengalami perubahan, misalnya kembang, buah-buahan, dan pohon-pohon dalam perkebunan. Terdapat dua factor, yaitu pembentukan (uppada) dan penghancuran (nirodha) yang berlangsung terus-menerus, yang tidak pernah berhenti walau sekejappun. Contoh: sebuah gelombang terbentuk naik, kemudian turun dan tenggelam, menimbulkan gelombang lain yang menyusul timbul, kemudian tenggelam pula; demikianlah seterusnya tiada hentinya. Timbulnya sebuah gelombang tergantung kepada tenggelamnya gelombang yang mendahuluinya, dan tenggelamnya sebuah gelombang menimbulkan gelombang lainnya menyusul. Demikianlah arus ini mengalir terus-menerus tidak ada putusnya.

2.      Dukkha
Dukkha adalah suatu perasaan atau pikiran yang tidak puas, yang timbul karena tidak tercapainya suatu keinginan atau yang timbul karena perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi di dalam diri maupun di luar diri kita.
Yang menimbulkan Dukkha menurut hukum Pattica-Sammupada yaitu :
Tanha diikuti oleh Upadana
Ø  Tanha adalah keinginan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan atau ikatan, untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya. Misalnya, kita melihat suatu benda yang mengagumkan; maka timbullah keinginan untuk memilikinya dan berambisi untuk memilikinya. Keinginan ini yang membuat kita berjuang untuk mencapainya.
Ø  Upadana diikuti oleh Bhava
Bhava adalah terbentuknya proses kehidupan kita. Bhava tergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita (proses kamma).
Ø  Bhava diikuti oleh Jati, Jaramarana dan Sebagainya
Jika Bhava ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan, harapan dan kekecewaan, dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.
Jika kita berhasil menaklukkan Tanha, maka tidak akan timbul Upadana, karena mana mungkin timbulnya keterikatan jika tidak adanya keinginan.

3.      Anatta
Anatta adalah Tanpa-Aku atau Tidak ada suatu substansi (zat). Penafsiran para sarjana yang ahli di kalangan penganut Agama Buddha pun menganggap pengertian Anatta ini adalah yang tersukar. Umumnya kesukaran yang dihadapi oleh para penafsir adalah tidak adanya penjelasan yang jelas terhadap istilah “atta”.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita hubungkan beberapa masalah dengan Anatta :
→ Substansi (Zat)
Jika perubahan merupakan kesunyataan, maka haruslah terdapat sesuatu yang menjadi landasan dari perubahan itu sendiri yang merupakan suatu inti atau zat. Contoh: sebuah cincin, sebuah piala atau sebuah mata uang, kesemuanya adalah perwujudan dari logam emas yang sama. Logamnya tetap emas, tetapi hanya perwujudannya yang berbeda.
→ Aku-Diri-Ego
Contoh: Kita yang sekarang ini adalah bukan kita yang sama seperti saat yang lampau; baik fisik maupun mental, karena mengalami perubahan-perubahan. Di dalam berbagai masa sepanjang kehidupan kita mengalami perubahan-perubahan yang besar, baik jasmani maupun rohani. Akan tetapi, walaupun ada perubahan-perubahan yang besar, adanya “diri” kita merupakan suatu pribadi yang sama.
→ Yang Sama atau Berbeda
Contoh: semua pelita berasal dari api yang sama, tetapi yang berbeda hanya pelitanya. Bila pelita yang menyala pada malam hari pertama, tidaklah sama dengan pelita yang menyala pada malam hari kedua, dan begitu pula pada malam hari ketiga.
→ Apakah manusia itu
Contoh: Bila kita memberi nama “kereta”, di dalam kereta terdapat bagian-bagiannya misalnya, jari-jari, sumbu, mesin, dan lainnya. Bila terpisah dari bagian-bagian itu, tidak dapat dinamakan “kereta”. Karena yang dinamakan “kereta” adalah mencakup bagian-bagian yang membentuknya.
→ Pancakhandha
1.      Rupakkhandha
2.      Vedanakkhandha
3.      Sannakkhandha
4.      Sankharakkhandha
5.      Vinnanakkhandah
→ Tumimbal Lahir
Tidak ada sesuatu yang keluar dari tubuh seseorang yang meninggal dan memasuki seorang bayi; akan tetapi kedua kehidupan itu haruslah dipandang sebagai satu rangkaian “tanha” dan “upadana”. Dimana yang satu menimbulkan yang lain.
→ Prinsip yang Menggerakkan Hidup
Tanha yang menggerakkan hidup kita.
→ Keadaan bathin atau jiwa
Contoh: Cepat melupakan sesuatu yang tidak memiliki ciri khas yang melekat pada diri sesuatu yang kita temui.
→ Apa yang dilupakan tidak lenyap sama sekali
Cepat atau lambat, kita akan melupakan segala sesuatu yang kita sadari, tetapi pengalaman-pengalaman itu tetap tinggal dalam batin kita.
→ Bawah sadar kita sangat giat bekerjanya
Watak kita ditentukan oleh bawah-sadar kita sendiri. Seseorang yang berwatak baik, jika bawah-sadarnya penuh dengan kesan-kesan dan pikiran-pikirannya yang baik; dan seseorang yang berwatak jahat, jika bawah-sadarnya penuh dengan keburukan-keburukan dan kejahatan-kejahatan.

B.     Pattica Sammuppada
Prinsip dari ajaran hukum Pattica Sammuppada diberikan dalam empat rumus pendek yang berbunyi berikut:
                               I.            Imasming Sati Idang Hoti
“Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.”
                            II.            Imassuppada Idang Uppajjati
“Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.”
                         III.            Imasming Asati Idang Na Hoti
“Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.”
                         IV.            Imassa Nirodha Idang Nirujjati
“Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.”

Berdasarkan prinsip yang saling menjadikan, relativitas dan saling bergantungan, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup, dan juga berhentinya hidup telah diterangkan dalam satu rumus dari dua belas pokok yang dikenal dengan Pattica Sammuppada.
Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai berikut :
1)      Avijja Paccaya Sankhara
Dengan adanya ketidaktahuan, maka terjadilah bentuk-bentuk kamma.
2)      Sankhara Paccaya Vinnanang
Dengan adanya bentuk-bentuk kamma, maka terjadilah kesadaran.
3)      Vinnana Paccaya Namarupang
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah jasmani-rohani.
4)      Namarupa Paccaya Salayatanang
Dengan adanya jasmani-rohani, maka terjadilah enam landasan indriya.
5)      Salayatana Paccaya Phasso
Dengan adanya enam landasan indriya, maka terjadilah kontak/kesan.
6)      Phassa Paccaya Vedana
Dengan adanya kontak/kesan, maka terjadilah perasaan.
7)      Vedana Paccaya Tanha
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah keinginan.
8)      Tanha Paccaya Upadanang
Dengan adanya keinginan, maka terjadilah kemelekatan.
9)      Upadana Paccaya Bhavo
Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses penjelmaan.
10)  Bhava Paccaya Jati
Dengan adanya proses penjelmaan, maka terjadilah kelahiran.
11)  Jati Paccaya Jaramanang
Dengan adanya tumimbal-lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh-kesah, kematian, dll.
12)  Jara-Marana
Kematian, kelapukan, keluh kesah, sakit, dll. Sebagai akibat dari Tumimbal-Lahir.

C.    Tumimbal Lahir
Tumimbal lahir adalah hukum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan kembali di berbagai alam kehidupan selama masih di cengkeram oleh tanha dan avidya.
Tumimbal lahir makhluk hidup ada empat cara, yaitu:
♠ Jalabuja Yoni           : Makhluk yang lahir dalam kandungan
♠ Andaja Yoni                        : Makhluk yang lahir dari telur
♠ Sansedaja Yoni        : Makhluk yang lahir dari kelembaban
♠ Opapatika Yoni       : Makhluk yang lahir dari cara spontan

D.    Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Nibbana dapat dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati. Nibbana yang dicapai semasa hidup di dalam dunia ini, masih mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada.
Jadi Nibbana atau Nirvana itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
-          Nibbana yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam bahasa Pali disebut dengan “SA UPADISESA NIBBANA”.
-          Nibbana yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang dicapai setelah meninggal dunia atau dalam bahasa Pali disebut dengan “AN UPADISESA NIBBANA”.