Senin, 11 Juni 2012

BUDHISME ZEN


A.    Sejarah Buddhisme Zen

Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transimi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.
 Dikisahkan secara legendaris bahwa ketika di dalam pertemuan dharma, Sang Buddha berkumpul dengan para siswanya, datanglah seorang Brahmin yang memberikan sekuntum bunga Kumbhala kepada Sang Buddha seraya berharap agar Sang Buddha menerangkan Dharma. Pada saat itu Sang Buddha tidak berkata satu katapun, hanya tersenyum. Tak seorangpun yang mengerti, hanya Maha Kasyapa yang tersenyum dan mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha. Berkatalah Sang Buddha kepada Maha Kasyapa: ‘Engkaulah, Maha Kasyapa! Yang mengerti pelajaran tersebut dan aku wariskan pelajaran tersebut kepadamu’.
            Berikut ini silsilah para Acharya/Patriach/Guru Cha’n Buddhisme di India secara tradisional sebelum kedatangan Bodhidharma ke Tiongkok pada 520 M :
1.  Sakyamuni Buddha
15. Kanadeva
2.  Maha Kasyapa
16. Arya Rahulata
3.  Ananda
17. Samghanandi
4.  Sanavasa
18. Samghayasas
5.  Upagupta
19. Kumarata
6.  Dhritaka
20. Jayata
7.  Micchaka
21. Vasubhandu
8.  Buddhanandi
22. Manura
9.  Buddhamitra
23. Hakkenayasas
10. Bhiksu Parsva
24. Bhiksu Simha
11. Punyayasas
25.Vasasita
12. Asvagosha
26. Punyamitra
13. Bhiksu Kapimala
27. Prajnatara
14. Nagarjuna
28. Bodhidharma
Bodhidharma datang ke Tiongkok pada masa dinasti Liang (502-557M), beliau mula-mula sampai di Nanking. Sebenarnya apa yang diajarkan oleh Bodhidharma tidak menitikberatkan teori-teori, yang penting adalah pengertian dan intuisi dari seorang siswa yang timbul dari dalam batinnya sendiri di dalam usaha penghayatan terhadap Buddha Dharma di samping adanya ketekunan di dalam meditasi.
Bodhidharma menurunkan ajarannya Dhyana kepada muridnya, Hui Khe yang menjadi sesepuh kedua aliran Cha’n di Cina. Demikian seterusnya, hingga dikenal enam sesepuh yaitu:
1)      Bodhidharma
2)      Hui Khe
3)      Shen Chie
4)      Tao Sin
5)      Hung Jen
6)      Hui Neng

Setelah Hui Neng sistem pewarisan sesepuh atau Patriach ditiadakan. Namun demikian, terdapat juga beberapa Zen master yang cukup terkenal diantaranya : Master Han san, Fa Jung, Upasaka Ph’ang dan Master Ma Tsu serta lain-lainnya. Dari Cina, ajaran Cha’n menyebar ke Jepang dan dikenal dengan istilah Zen. Istilah Zen dari jepang inilah yang kemudian lebih populer untuk menamai aliran Dhyana atau Cha’n.

B.     Sutra-Sutra yang di jadikan pedoman oleh Cha’n/Zen
Walaupun kita sering mendengar bhawa kaum Cha’n/Zen tidak terikat kepada Sutra-Sutra, ada juga Sutra-Sutra yang di jadikan ‘teori’ oleh mereka. Ini juga berarti mereka tidak terlalu terikat kepada apa yang tertulis dalam Sutra-Sutra. Sutra tersebut adalah:
-          Suranggama Sutra (Leng Yen Cing) terjemahan Siksananda
-          Lankavatara Sutra (Leng Kha Cing) terjemahan Gunabadra
-          Vajrachedika Prajnaparamita Sutra (Cin Kang Cing/Sutra Intan) terjemahan Kumarajiva
-          The Platform Sutra of Sixth Patriach (Liu Chu Th’an Cing/Sutra Altar dari Hui Neng)
-          Vimalakirti Nirdesa Sutra (Wei Mo Cing) terjemahan Kumarajiva

C.    Dasar Filsafat Zen

Dasar dari Cha’n atau Zen sering diungkapkan sebagai berikut :
Diberikan di luar pelajaran
Tanpa mengunakan kata-kata tulisan
Langsung diarahkan kepada hati manusia
Mengenal sifat asli itu sendiri dan menjadi Buddha
Di dalam Cha’n/Zen, upacara-upacara yang berbelit-belit kurang di perhatikan, pembakaran dupa wangi dan lilin pun hanya sekali-sekali. Mereka juga mengulang Sutra, namun hal itu bukan merupakan suatu ikatan. Bagi mereka meditasi adalah bagian dari kehidupan mereka, namun meditasi tidak bias menjamin seseorang menjadi Buddha. Segala sesuatu harus diresapi dan di realisasikan agar dapat menghayati setiap momen kehidupan. Mereka begitu menyintai ketenangan, keheningan serta keindahan alam karena hal-hal demikian banyak membantu dalam usaha untuk mencari diri pribadi dan mengenal diri sendiri. Tentu saja moral kesusilaan sangatlah mereka junjung.

Ada dua buah syair yang terkenal yang masing-masing di buat oleh Shen Siu dan Hui Neng yang dapat mengambarkan garis esar filsafat Cha’n/Zen.

Syair dari Shen Siu sebagai berikut:
Tubuh adalah pohon Bodhi
Hati laksana cermin yang berbingkai
Setiap saat rajin membersihkannya
Jangan sampai di kotori oleh debu
Syair lain yang di buat oleh Hui Neng sebagai berikut:
Bodhi sesungguhnya tak berpohon
Cermin terangpun tidaklah berbingkai
Pada mulanya memang tidak ada sesuatu apapun
Yang dapat di kotori oleh debu
D.    Perkembangan Zen Selanjutnya

Ada beberapa aliran atau sekte yang berkembang menurut metode yang berbeda. Diantaranya sebagai berikut :
1)      Sub-sekte Lin Chi (Rinzai), diperkenalkan oleh Master Lin Chi kira-kira pada tahun 850 M.
2)      Sub-sekte Chau Tung (Soto), diperkenalkan oleh Master Tung San Liang Cie (807-869 M) dan Chau San (840-901 M).
3)      Sub-sekte Huang Po (Obaku), dikembangkan oleh Master Huang Po kira-kira tahun 850 M.

NICHIREN SOSHU


A.    Sejarah Nichiren Soshu

Nichiren Soshu adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang pada abad ke-13. Dipelopori oleh bikhu Nichiren Daishonin (1222-1282). Sekte ini berpusat di Taisekiji, Fujinomina, propinsi Shizouka, Jepang. Sekte ini merupakan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, yang merupakan pendiri sekte ini.
Agama Buddha menebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea kemudian masuk ke Jepang. Agama Buddha sangat terbuka mengungkapkan dasar pendirian sektenya. Bila dilihat dari dasar Buddhaloginya, Nichiren Soshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya Mahaguru Tien Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru Dengyo.
Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa, disebut dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo, dalam bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika adalah ajaran Buddha mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, lalu disebarluaskan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte berbagai kuil, maka beliau menyimpulkan bahwa hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan ajaran pokok dari Buddha Sakyamuni yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sehingga, sejak saat itu ia menyebut dirinya dengan sebutan “Nichiren”.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan ajaran Buddha kepada bentuk yang murni yang menjadi dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan melawan ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, patriotis, namun eksklusif. Ia mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci.
Dari hasil studi dalam mempelajari agama-agama Buddha, ia menyadari bahwa agama Buddha sudah terpecah-pecah dengan bermunculan beraneka ragam sekte. Ia beranggapan bahwa semua sekte itu telah menyimpang dari ajaran Sakyamuni yang asli, sehingga tujuan utama sekte ini adalah mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan masyarakat.

B.     Ajaran-ajaran Nichiren Soshu

1.      Nam-myoho-renge-kyo

Nam-myoho-renge-kyo yang berarti “aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddha yang paling luhur”. Menurutnya, hanya dengan menyatu dengan alam semesta, akan mencapai kebahagiaan yang mutlak.

2.      Dohonzon

Dohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat pemujaan yang telah diajarkan Nichiren Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap orang yang percaya kepada Nichiren dan ajaran-ajarannya yang benar. Siapapun yang bertawakal kepada Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan menyatu dengan alam semesta.

3.      Teori Kaidan
Kaidan adalah suatu tempat bagi para calon Bhikkhu untuk bernadar dan menyatakan diri akan mengabdi sebagai bhikkhu atau bhikkhuni.
C.     Nichiren Soshu di Indonesia

Agama Buddha Nichiren Soshu mulai tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, walaupun hanya dianut oleh beberapa orang saja. Pada tahun 1950an dan 1960-an penganutnya mulai bertambah, dan dibentuklah banyak pertemuan untuk diskusi guna mempelajari agama Nichiren Soshu. Pada tanggal 28 Oktober 1969, yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, maka dibentuklah Yayasan Buddhis Nichiren Soshu Indonesia.

1)      Nichiren Soshu di Indonesia bukanlah agama Jepang, akan tetapi agama Buddha dari mazhab Mahayana berdasarkan Tripitaka dan bersifat nasionalis.
2)      Nichiren Soshu di Indonesia menegaskan bahwa Nichiren Soshu bukanlah suatu agama yang bersifat eksklusif untuk golongan tertentu saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat berdasarkan prinsip “Icien Bodai Soyo” dan bersifat universal.
3)      Nichiren Soshu di Indonesia memiliki prinsip “Esyo Funi” yang berarti manusia dan lingkungan tidak dapat terpisahkan. Buktinya adalah penggunaan bahasa Indonesia saat pertemuan-pertemuan.

D.    Perpecahan Nichiren Soshu di Indonesia

Sejak akhir tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Tahun 1986, muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI yang memang belum ada. Draf AD ART kemudian disusun dan dibuat oleh Sembilan orang atas permintaan Senosoenoto, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kelompok 9.
Inisiatif Kelompok Sembilan ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan. AD ART NSI pun tak kunjung terwujud. Lalu, mereka membuat Yayasan Visistakaritra pada tanggal 16 Februari 1987. NSI sepeninggal Senosoenoto terpecah menjadi dua, karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung Johan Nataprawira dan kubu pendukung Keiko Senosoenoto. Dalam suatu muktamar, terpilihlah Suhadi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira, dan saat ini masih menjadi ketua umum NSI. Namun, keberadaannya ditentang oleh Sangha Nichiren Soshu. Akibatnya, kini Suhadi Sendjaja dikeluarkan dari Nichiren Soshu dan organisasi NSI tidak diakui sebagai ormas penganut Nichiren Soshu di Indonesia.
Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), dan mengangkat anak perempuannya, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini. Sekitar tahun 2000-an, bersama Sangha Nichiren Soshu Indonesia yang diketuai oleh menantunya, Rusdy Rukmarata.
Yayasan sangha ini memiliki dua buah kuil, yaitu Myogan-ji terletak di Mega Mendung, dan Hosei-ji terletak di Jakarta. Pada tahun 199, terjadi pertikaian antara Sangha Nichiren Soshu di Jepang dengan Sokagakki Internasional, dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte sendiri dan diberi nama Nichiren Sekai Shu.